Rabu, 14 Oktober 2009 | 03:55 WIB
Jakarta, Kompas – Penguatan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat sangat dilematik. Bagi importir, penguatan ini menguntungkan. Bagi produsen berorientasi ekspor, penguatan ini justru mencemaskan karena daya saing industri rendah.
Hal itu dikemukakan Ketua Umum Asosiasi Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia Ambar Polah Tjahyono di sela-sela finalisasi penyusunan Roadmap 2015 dan Visi Industri 2030 di Jakarta, Selasa (13/10).
Ambar mengatakan, penguatan rupiah berpotensi menggerakkan importir untuk mengimpor produk yang sesungguhnya sudah diproduksi di dalam negeri. Ini berpotensi menghancurkan industri domestik.
”Padahal, industri kita masih rendah daya saingnya. Produk impor yang lebih murah cepat atau lambat akan menghancurkan industri domestik,” ujarnya.
Di lain sisi, pemerintah mendorong industri untuk meningkatkan ekspor. Pada masa kontrak ekspor, produsen biasanya masih mematok kurs Rp 12.000 per dollar AS. Dengan penguatan rupiah saat ini, nilai produk ekspor Indonesia akan berkurang.
”Produsen resah karena dollar AS yang diterimanya ketika harus ditukar kembali dengan rupiah untuk membayar gaji buruh nilainya menjadi berkurang. Diharapkan pemerintah menjaga kestabilan kurs Rp 10.500 per dollar AS,” kata Ambar.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi A Sarwono mengatakan, rata-rata nilai tukar masih cukup kompetitif sehingga tidak mengganggu fundamental sektor ekspor-impor.
Pembayaran
Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penguatan rupiah memengaruhi beban pembayaran kewajiban yang harus ditanggung pemerintah pada 2009. Selain itu juga berdampak pada komposisi akhir APBN 2010 dalam lima bulan ke depan.
”Kami akan melihat penerimaan negara, terutama pajak, kemudian dari sisi belanja serta dari sisi perubahan indikator, seperti suku bunga dan nilai tukar. Sekarang rupiah relatif lebih kuat. Dalam lima bulan ke depan, akan sangat memengaruhi kewajiban- kewajiban dalam mata uang asing,” ungkap Menkeu.
Koordinator Koalisi Anti Utang Dedi Setiawan mengatakan, rendahnya pencairan pinjaman terjadi karena buruknya perencanaan dan kinerja proyek yang didanai utang luar negeri. Itu menyebabkan bertambahnya beban anggaran untuk pembayaran pokok dan bunga pinjamannya.
”Fakta ini harus jadi landasan bagi DPR untuk memperketat pinjaman baru, khususnya mencegah peningkatan defisit APBN sebagai legitimasi pembuatan utang baru,” katanya.
Dalam transaksi valas di BI kemarin, kurs tengah di posisi Rp 9.445 per dollar AS, menguat dibandingkan sehari sebelumnya yang Rp 9.490 per dollar AS.(OSA/FAJ/OIN)
No comments:
Post a Comment