2009-10-26Sekarang atau Tidak Sama Sekali
SP/Alex Suban
Oleh: Bambang PS Brodjonegoro,Guru Besar FEUI
Kontroversi seputar pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II masih menghiasi halaman surat kabar maupun media lainnya. Namun, hal tersebut akan surut dengan sendirinya seiring dengan perjalanan waktu dan beralihnya perhatian masyarakat pada tantangan yang dihadapi kabinet itu sendiri.
Khusus untuk bidang ekonomi, tantangan jangka pendek jelas terkait dengan proses pemulihan krisis ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi 2010 akan menjadi target awal kabinet baru dan akan menjadi fokus perhatian masyarakat.
Mengacu pada target tersebut, tahun pertama KIB II akan disibukkan dengan upaya mengembalikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada jalur normal. Melihat pola pertumbuhan ekonomi Indonesia tiga tahun terakhir, jalur normal tersebut mungkin bisa didefinisikan sebagai menjaga tingkat pertumbuhan konsumsi masyarakat, meningkatkan pertumbuhan investasi secara signifikan, memperbaiki efektivitas alokasi pengeluaran pemerintah, serta memulihkan ekspor produk dan jasa Indonesia sekaligus memperlancar impor barang modal.
Keberhasilan Indonesia untuk tidak terimbas dampak krisis terlalu besar, dicapai melalui keberhasilan menjaga keseimbangan antara kebijakan ekonomi yang berorientasi global dan domestik. Dengan kata lain, suatu perekonomian akan mempunyai daya tahan krisis yang kuat apabila mempunyai perekonomian domestik yang sehat dan dinamis, di samping mempunyai daya saing global dan pengawasan sistem keuangan yang kokoh.
Untuk mengejar target pertumbuhan 2010, sekitar 6 persen, ketahanan perekonomian domestik tetap menjadi landasan utama melalui perbaikan daya beli masyarakat sebagai kunci dari ketahanan tersebut. Perbaikan daya beli masyarakat bisa dilakukan dari dua arah secara sekaligus, yaitu meningkatkan upah atau pendapatan nominal masyarakat dan sekaligus mengurangi beban biaya hidup masyarakat sendiri. Peningkatan upah nominal akan berlangsung secara berkesinambungan apabila kestabilan ekonomi makro terjaga, ekonomi terus tumbuh, dan penyerapan tenaga kerja baru mampu mengurangi pengangguran.
Subsidi Terarah
Tidak kalah pentingnya adalah upaya mengurangi beban biaya hidup masyarakat melalui kebijakan seperti subsidi terarah (kepada kelompok yang membutuhkan), penyediaan layanan publik berstandar nasional, harga bahan pokok yang wajar, serta kemudahan akses bagi semua kebutuhan dasar.
KIB I mungkin sudah berhasil meletakkan landasan bagi upaya peningkatan upah nominal secara berkesinambungan, namun masih ada pekerjaan rumah yang ditinggalkan untuk KIB II, yaitu mengurangi beban biaya hidup masyarakat. Presiden dan Wapres, dengan dukungan menteri terkait, diharapkan fokus pada upaya ini, karena sejalan dengan tekad Presiden untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan subsidi terarah sebenarnya sudah dimulai dengan bantuan langsung tunai (BLT) yang sempat memicu kontroversi, karena dianggap menggampangkan masalah, tidak mendidik bagi penerimanya, serta berpotensi ricuh dalam implementasinya terkait dengan akurasi data.
Tidak ada salahnya apabila KIB II segera menyempurnakan implementasi BLT itu sendiri, baik dari segi jenis subsidi maupun implementasinya. BLT bersyarat sudah saatnya diterapkan bagi kelompok rumah tangga yang tidak tergolong kelompok paling miskin, sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat itu sendiri.
Hal lain yang juga menjadi batu ujian bagi pemerintahan lima tahun ke depan adalah kemampuan menangani subsidi BBM dan listrik, yang selama ini lebih masuk lahan politik dibanding ekonomi. Diversifikasi sumber energi dan mengurangi kebergantungan pada BBM, jelas merupakan salah satu solusi, namun memakan waktu yang tidak sebentar dan dana yang tidak sedikit. Dalam jangka pendek, skema subsidi terarah dapat menjadi solusi dengan prioritas pada angkutan umum serta kelompok R1 (rumah tangga golongan I) dan UKM dalam konsumsi listrik.
Layanan Berstandar Nasional
Penyediaan layanan publik berstandar nasional adalah tugas besar lainnya yang menanti pemerintah lima tahun ke depan. Dalam hal ini dibutuhkan kerja sama yang baik antara pemerintah pusat dan daerah, mengingat tugas penyediaan layanan publik dasar sudah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Pemerintah pusat harus bekerja keras menetapkan standar nasional layanan tersebut dan pemerintah daerah harus mempunyai komitmen mengalokasikan dana dalam APBD untuk mencapai standar tersebut. Kebijakan ini akan berdampak signifikan pada pengurangan kemiskinan absolut, karena berpengaruh positif pada upah atau pendapatan riil masyarakat.
Pada tahap awal, layanan publik dasar yang perlu mendapatkan prioritas berstandar nasional di setiap daerah adalah pendidikan dasar dan menengah, kesehatan masyarakat, serta infrastruktur dasar. Khusus untuk pembangunan infrastruktur yang menjadi salah satu prioritas pemerintahan baru, perlu dipertegas keberadaan skema PPP (public private participation) untuk mempercepat pembangunan infrastruktur yang bersifat cost recovery seperti jalan tol, pelabuhan, pembangkit listrik, serta peranan dominan pemerintah dalam membangun dan merehabilitasi infrastruktur dasar desa dan kota.
Laju inflasi yang cukup rendah pada 2009 perlu dipertahankan ke depan sehingga daya beli masyarakat tidak tergerus terlalu besar. Akan menjadi tantangan bagi pemerintah dan Bank Indonesia apakah laju inflasi rendah tersebut bisa dicapai pada 2010, di mana diperkirakan perekonomian global mulai pulih.
Ketersediaan dan dinamika harga kebutuhan pokok tetap menjadi faktor utama tinggi rendahnya inflasi di Indonesia, sehingga koordinasi sektoral di pemerintah tetap diperlukan. Tidak boleh dilupakan bahwa pemerintah daerah juga punya peran besar menjaga inflasi daerahnya masing- masing.
Memang tidak mudah menjadi pemerintah di alam demokratis dengan harapan pemilih yang demikian tinggi. Namun, apa yang baru dikemukakan tersebut adalah hal yang mendasar bagi perekonomian Indonesia, yang sedang bergerak menuju perekonomian negara maju (developed country).
Lima tahun ke depan adalah saatnya Indonesia masuk sebagai anggota emerging economies, yang saat ini dikenal sebagai BRIC (Brasil, Rusia, India, dan Cina/Tiongkok). Masuknya Indonesia dalam G-20 adalah momentum yang tidak boleh hilang. Untuk menjadi kekuatan ekonomi yang diperhitungkan, pertumbuhan ekonomi tinggi disertai inflasi rendah adalah prasyarat mutlak.
Belajar dari pengalaman anggota BRIC, menjadi sangat penting agar kekurangan yang mereka alami tidak terjadi di Indonesia. Rusia yang terlalu bergantung pada perekonomian eksternal, perekonomiannya sempat terkontraksi 10 persen, sedangkan India masih dihadapkan pada kemiskinan absolut yang parah.
Keseimbangan perekonomian global dan domestik serta pertumbuhan berkualitas adalah jawaban yang tepat untuk masalah tersebut. Mudah-mudahan Presiden SBY mengakhiri jabatannya pada 2014 nanti dengan suatu catatan emas sebagai Presiden yang meletakkan fondasi yang kokoh untuk Indonesia menjadi negara maju. Untuk Pak SBY, Pak Boed, dan segenap anggota KIB II, lima tahun ini adalah “Now or Never” (sekarang atau tidak sama sekali). *
Suara Pembaruan2009-10-26Sinkronisasi Pusat-Daerah Kunci Pertumbuhan Ekonomi
[JAKARTA] Sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah sangat diperlukan, demi mencapai target pembangunan ekonomi lima tahun mendatang. Koordinasi antardepartemen dengan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten menjadi kunci jawaban.
Menurut ekonom Universitas Indonesia, Ninasapti Triaswati, target pemerintah untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen pada 2014, menekan angka kemiskinan 8-10 persen dan mengurangi pengangguran, dapat tercapai bila terciptanya sinergi program pusat dan daerah.
“Pemerintah pusat harus sadar bahwa daerah memiliki kewenangan sendiri. Begitu juga dengan pemda, yang harus menyadari akan tingginya target pertumbuhan ekonomi ingin dicapai. Hal ini bertujuan untuk menciptakan adanya iklim investasi dan usaha yang baik di Tanah Air ini,” ujarnya ketika dihubungi SP, Minggu (25/10).
Nina menambahkan, segala peraturan daerah yang berlawanan atau menyulitkan dunia usaha, harus segera diganti. Selama ini, biasanya hambatan ada di tingkat daerah, apalagi kebijakan tiap daerah berbeda-beda.
Perlu adanya, terobosan baru, guna menarik para investor dan tidak ada lagi jalur yang berbelit-belit dalam pengurusan dunia usaha. Untuk itu, pemerintah pusat bisa memaksakan kinerja pada pemda demi memperlancar peredaran arus barang.
KEK
Nina mengimbau, selain reformasi birokrasi, perlu diciptakan juga pemberian insentif ataupun reward. Jalur satu pintu pun dapat memudahkan terciptanya kawasan ekonomi khusus (KEK).
“Jangan hanya wilayah Batam saja yang menjadi model, daerah lain pun bisa menjadi contoh yang sehat pada masalah infrastruktur, misalnya masalah pembebasan lahan untuk jalan tol,” katanya.
Namun, janji pemerintah tersebut, tetap harus dipantau selalu. Program-program yang telah disusun oleh kabinet tim perekonomian harus dapat direalisasikan. Mas- yarakat luas berhak untuk menagih segala janji-jani pemerintah.
Senada dengan itu, pemerintah akan melakukan pembahasan tentang penetapan insentif baru bagi dunia usaha dengan pelaku usaha satu dan anggota kabinet ekonomi sebulan sekali.
“Hal itu harus dibahas secara mendalam. Kami tidak ingin insentif yang diberikan itu justru menghambat perkembangan sektor lain. Untuk itu, diperlukan adanya sinkronisasi regulasi satu aturan dengan yang lainnya,” tegas Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa usai memimpin rapat koordinasi antara Kadin dengan jajaran menteri bidang perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II dalam penyusunan program 100 hari di Jakarta, Sabtu (24/10).
Untuk mewujudkan pembangunan ekonomi lima tahun mendatang tersebut, maka pemerintah menetapkan enam sektor yang akan menjadi fokus utama arah pembangunan ekonomi dalam lima tahun ke depan.
Keenam sektor itu, katanya, adalah infrastruktur, energi, ketahanan pangan, transportasi, pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta revitalisasi industri dan jasa.
Hatta menegaskan, masalah infrastruktur harus dise-lesaikan supaya tidak menghambat arus barang antardaerah di Indonesia. Masalah percepatan infrastruktur, menja- di prioritas pemerintah dalam lima tahun ini.
“Perbaikan dan pengembangan infrastruktur tidak bisa hanya mengandalkan dana pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah mengajak pihak swasta sebagai mitra untuk membiayai pembangunan infrastruktur,” ucap Hatta yang menjabat sebagai Ketua Komite Kerjasama Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI).
Ia menjelaskan, percepatan pembangunan infrastruktur juga akan menggerakkan sektor riil ke depan. Hal itu dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan memberi sentimen positif pada dunia internasional untuk berinvestasi di Indonesia.
Kepala Badan Kebijak- an Fiskal Anggito Abimanyu, juga menuturkan pemerin- tah sudah memberikan insentif dalam Undang-Undang APBN. Hal itu akan dikaji pada Pertemuan Nasional (National Summit) yang berlangsung 29-31 Oktober 2009 nanti. [H-15]
Suara Pembaruan2009-10-26Infrastruktur dan Sektor Riil Harus Jadi Fokus
Tim Ekonomi
[JAKARTA] Berbagai hal harus menjadi fokus bagi pemerintahan baru. Sorotan utama adalah terkait pembangunan infrastruktur dan memajukan sektor riil.
Ketua Center for Information and Development Studies (Cides), Umar Juoro mengatakan, salah satu masalah besar terkait dengan ketersediaan listrik, baik di daerah maupun kota besar.
“Sekarang, bisa dilihat kalau listrik itu byar pet. Tapi, masih ada harapan yang cukup besar terhadap pembangkit listrik, karena swasta bisa berperan dan pendanaan mereka cukup terbuka,” ujarnya seusai diskusi “Membedah Formasi Kabinet SBY Bidang Ekonomi, Antara Harapan dan Tantangan” di Jakarta, pekan lalu.
Menurutnya, dibandingkan situasi listrik yang byar pet, masyarakat akan lebih memilih membayar sedikit lebih mahal, tapi kondisinya lebih baik, daripada harus menanggung risiko negatif lain dari listrik yang byar pet tersebut.
Sedangkan, yang dirasa agak berat adalah mengenai infrastruktur jalan karena menyangkut pembebasan lahan. Di sisi lain, perlu didorong keberadaan transportasi massal. Pihaknya menyayangkan beberapa posisi menteri diduduki oleh orang-orang baru, sehingga perlu penyesuaian terlebih dulu terhadap tugas yang akan menjadi tanggung jawabnya.
“Diharapkan, masa penyesuaian tidak akan berlangsung lama. Tapi, intinya, perlu perbaikan selangkah atau dua langkah dalam infrastruktur, bisa dimulai dari listrik,” kata Umar.
Selain itu, lanjut Umar, juga menyangkut masalah ekonomi biaya tinggi. Bisa dilihat, di daerah dan pusat, perizinan dan pungutan masih menjadi masalah. “Menjadi tugas pemerintah untuk memperbaikinya segera. Pengaruhnya akan sangat besar, sebab faktanya Indonesia masih diminati oleh banyak investor, baik dari dalam maupun luar negeri,” katanya.
Kondusif
Pembiayaan tidak akan menjadi isu, asalkan kondisi dari dalam negeri kondusif, termasuk pemerintah, bisa memfasilitasinya dengan baik. “Selama ini, hambatan utama pada infrastruktur dan sektor riil berkaitan dengan tugas pemerintah. Sedangkan, peran swasta sudah berjalan dengan bagus,” tuturnya.
Menurut Umar, tim ekonomi kabinet di sektor makro dinilai sudah cukup kuat, sebab mereka sudah berpengalaman dan sesuai dengan keinginan pasar. Tapi, justru yang di sektor mikro atau riil yang masih banyak dipertanyakan.
Melihat komposisinya, Umar mengemukakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia 5-6 persen tidak mustahil tercapai. Namun, dibutuhkan kerja keras dan tim menteri sektor riil yang lebih kuat.
“Hal itu menjadi tantangan bagi Hatta Rajasa selaku Menko Perekonomian untuk bisa menyinergikan sektor ekonomi makro dan mikro,” kata Umar.
Dia menilai, bisa dilakukan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu II, jika dibutuhkan. “Hal itu akan sangat ditentukan oleh posisi Kepala Unit Kerja Presiden dan Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan yang cukup ketat dalam melakukan pe- nilaian,” katanya. [D-12]
No comments:
Post a Comment