Monday, October 12, 2009

Kenegaraan : Peta Jalan Kemajuan China

http://www.analisad aily.com/ index.php? option=com_ content&view=article&id=31325:melihat- sekilas-peta- jalan-kemajuan- china-&catid=78:umum&Itemid=131

Melihat Sekilas Peta Jalan Kemajuan China Oleh : Hidayat Banjar

Setiap pagi anak saya yang masih kelas 5 SD membawa tas besar, isinya buku-buku pelajaran. Sesekali saya mencandainya: “Vanni (nama anak saya itu) dengan beban berat seperti ini, dapat dipastikan kelak kau akan bungkuk, sementara belum dapat dipastikan kau akan cerdas.”

“Buku-buku ini harus dibawa, Ayah. Semuanya dipelajari di sekolah,” jawabnya. Saya prihatin melihat anak saya itu, yang juga dialami anak-anak Indonesia lain.

Padahal, yang diharapkan orangtua ketika anaknya tamat SD sederhana saja: bisa membaca, menulis dan berhitung. Ya, tambahannya adalah budi pekerti. Lalu untuk apa pelajaran sebanyak itu?

Yang jadi pertanyaan, apakah layak siswa SD mata pelajarannya berjumlah 11 hingga 13. Bahkan ada beberapa sekolah menerapkan 15 mata pelajaran untuk siswa SD?

Di SMA sederajat juga begitu. Siswa “dipaksa” menguasai 13 – 20 mata pelajaran. Betapa beratnya beban siswa-siswi kita? Apakah pihak yang berwenang menangani pendidikan menganggap anak-anak Indonesia supermen atau superwomen?

Ilustrasi dan pertanyaan-pertanya an di atas saya ajukan sehubungan dengan kemajuan China yang salah satunya adalah mereformasi dunia pendidikan. Melihat kemajuan China (dengan jumlah penduduk 1,3 miliar) demikian signifikan sejak 1980-an, kita perlu belajar, hal-hal apa yang melatarbelakanginya .

Rata-rata 10 Persen

Kemajuan ekonomi China rata-rata tumbuh 10 persen sejak 1980-an. China menjadi super power baru yang secara geopolitik berpotensi menjadi “ancaman” negara-negara industri maju.

Jika ada pendapat mengatakan bahwa Indonesia tidak punya kekuatan sama sekali, itu berlebihan. Kita bukanlah bangsa yang bodoh dan malas.

Bukti terakhir, seperti peran Indonesia di G-20, menunjukkan kita sudah punya “sesuatu” yang bisa dipelihara dan didayagunakan di kemudian hari. Namun, pendapat bahwa China lebih maju dari Indonesia memang tidak terbantahkan. Justru itu, kemajuan China bisa dijadikan pelajaran berharga guna memacu kemajuan Indonesia.

Ada tiga hal mendasar dan penting yang ditanamkan dan diterapkan China hingga mencapai kemajuan seperti sekarang. Pertama soal kepercayaan diri, kedua prioritas pendidikan, dan ketiga peta jalan ke depan. Ketiga hal mendasar ini secara konsisten dan simultan terus diimplementasikan China dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kepercayaan diri adalah satu sifat yang dibangun dan dikembangkan Mao Zedong sejak awal 1930-an hingga 1970-an. Percaya diri itu dibangun sebagai jawaban atas “penghinaan seratus tahun” (bainian guochi) sebelumnya oleh bangsa-bangsa Barat dan Jepang sejak Perang Candu 1840-1949.

Dasar pendidikan, dijalankan para pemimpin China sejak Mao. Menurut Gang Guo (2007), selama Revolusi Kebudayaan, jumlah siswa masuk sekolah dasar meningkat separuh, sekolah menengah pertama naik empat kali lipat, dan sekolah menengah meningkat 14 kali lipat. Memang ada perdebatan terkait kualitas pendidikan. Namun Mao memberi dasar distribusi yang lebih merata sumber daya manusia.

Pendidikan Karakter

Deng Zioping pada 1978 mengatakan, “Bila China ingin memodernisasi pertanian, industri, dan pertahanan, yang harus dimodernisasi lebih dulu adalah sains dan teknologi serta menjadikannya kekuatan produktif.” Pada 1985, Deng menegaskan pentingnya pendidikan karakter, dan orientasi hapalan dianggap “membunuh” karakter anak. Setelah itu, guru dan kaum profesional amat dihargai.

Presiden Jiang Zemin pada 2000 mengumpulkan semua pemimpin China untuk membahas bagaimana mengurangi beban pelajaran siswa melalui adopsi sistem pendidikan yang patut secara umur dan menyenangkan, serta mengembangkan semua aspek dimensi manusia, kognitif, karakter, estetika, dan fisik.

Dibandingkan dengan bangsa kita, kepercayaan diri bangsa China lebih kuat karena dasar yang dibangun Mao dan capaian-capaian kasatmata, seperti olimpiade dan kemajuan ekonominya.

Namun, pelan tapi pasti, bangsa Indonesia sebenarnya mulai percaya diri. Keberhasilan mempraktikkan demokrasi dan kemajuan ekonomi setelah krisis akhir 1990-an mulai menjadikan kita dihargai negara-negara lain. Buktinya, dalam GDP, Indonesia berada di nomor 16 dan menjadi anggota G-20 yang mulai disegani anggota lain. Momentum untuk kepercayaan diri ini perlu dijaga, dipelihara dan diapresiasi.

Kendati terlambat, bangsa kita telah mengakui pentingnya pendidikan sebagai fundamen bangunan bangsa. Hal itu terbukti dengan anggaran 20 persen untuk pendidikan. Kendati implementasinya belum sempurna dan konsepnya belum kuat sehingga terkesan sibuk menghabiskan anggaran, keputusan politik bangsa bahwa pendidikan harus diprioritaskan sudah berada di jalur yang benar.

Mau Berubah

Masalahnya, apakah kita mau berubah? Sedangkan alam saja terus berubah seusai perjalanan waktu.

Yang jadi pertanyaan, apakah layak siswa SD mata pelajarannya berjumlah 11 hingga 13, bahkan ada beberapa sekolah menerapkan 15 mata pelajaran untuk siswa SD? Yang menjadi pertanyaan lagi, apakah efektif dan efisien siswa SMA sederajat mata pelajarannya 13 – 20?

Jika mau berubah, tak mustahil dalam waktu 20 tahun ke depan, kita akan membuktikan bangsa ini lebih kuat bersaing di antara bangsa-bangsa lain. Konsep pembangunan pendidikan harus lebih mendasar dan terarah sehingga alokasi dana 20 persen bisa dimanfaatkan secara efektif dan efisien.

Pada 2005, Pusat Penelitian Modernisasi China menerbitkan peta jalan Modernisasi China untuk abad ke-21. Isinya: tahun 2025 produk domestik bruto (GDP) China menyamai Jepang. Tahun 2050 China jadi negara maju secara moderen. Tahun 2080 China menjadi negara maju, sama dengan AS. Tahun 2100 China menjadi negara paling maju di dunia, melampaui AS. Atas dasar peta jalan itu, China bergerak menuju masyarakat yang lebih baik secara bersama (xiaokang).

Sesuai Kebutuhan

Grand design pendidikan kita seyogianya dirancang untuk kepentingan serta kebutuhan rakyat kebanyakan, bukan untuk kepentingan elit politik sebagai program pencitraan diri.

Menurut UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) pendidikan dibagi ke dalam tiga katagori: informal adalah pendidikan di rumah tangga; formal merupakan pendidikan yang berjenjang dari SD hingga perguruan tinggi; sedangkan nonformal adalah pendidikan luar sekolah seperti life skill.

Sebenarnya, life skill juga dapat diperoleh dari pendidikan formal. Sayangnya, kini Indonesia tidak lagi menerapkan pendidikan vokasi di SLTP sejak beberapa tahun yang lampau. Pendidikan vokasi di Indonesia, dimulai sejak SLTA dengan nama SMK. Sayangnya lagi, pelajaran di SMK juga lebih mengedepankan teori daripada praktik.

Disarankan pula, tiap jenjang pendidikan vokasi menerapkan 70 persen praktik dan 30 persen teori. Jangan terbalik. Jika 70 persen teori dan 30 persen praktik, kita sudah lihat dan rasakan sendiri betapa tamatan-tamatan SMK kita banyak yang tidak kompeten di bidangnya.

Setelah tamat SD, orangtua mengukur kemampuan kocek serta kebutuhannya untuk kelanjutan pendidikan anak-anak mereka. Bila orangtua yang berprofesi petani, sangat boleh jadi kebutuhan mereka, anak-anak dapat mengembangkan usaha pertanian ke arah yang lebih baik serta menyejahterakan. Maka pendidikan selanjutnya tentu ke arah itu. Begitu juga dengan kaum nelayan (tradisional) sangat mungkin berharap, anak-anaknya dapat lebih meningkatkan hasil tangkapan (hasil laut), juga harga jual yang layak dan lainnya.

Sayangnya, saat ini di Indonesia tidak ada lagi pendidikan pertanian, kelautan, otomotif, komputer dan lain sebagainya untuk tingkat SLTP. Siswa harus belajar dulu tiga tahun di SLTP (SMP), baru dapat memasuki pendidikan vokasi di SMK. Bukankah hal ini akan memperbesar biaya atau pengeluaran? Ironisnya lagi, setelah tamat SMK, siswa-siswi kita pun sepertinya belum memiliki apa yang disebut life skill.***

Penulis adalah peminat masalah sosial budaya. Menetap di Medan.

No comments:

Post a Comment